Tentu
saja ada juga suara-suara yang kritis tentang Perang Aceh, di antaranya
dari Multatuli yang sudah kita kenal, yang tanpa basa-basi menulis
sebuah surat 'kepada Raja' sebagai berikut, ”Gubernur Jendral Anda
(James Loudon-Red) saat ini berada pada posisi untuk memaksakan
kehendaknya dengan mengumandangkan perang pada Sultan Aceh, dengan
alasan yang dibuat-buat, seolah-olah sebagai suatu tindakan yang wajar
dilakukan, dengan tuntutan agar Sultan Aceh menyerahkan kedaulatannya.
Hal ini sama sekali tidak terhormat, tidak bermartabat, tidak dapat
dipahami.
Saya
juga sudah menyebut tentang ’Wekker’, seorang polisi menulis 17 artikel
kritis di koran Den Haag ’De Avondpost’. Artikel-artikel yang
menimbulkan keresahan di Belanda, setidaknya di parlemen. Namun
persoalan ini dianggap tidak ada dan tidak dicari pemecahannya. Para
penulis seperti Zentgraff sebelum Perang Dunia Kedua dan van ’t
Veer dan Bossenbroek tidak menghargai keterlibatan KNIL dalam
Perang Aceh. Salah satu kutipannya, ”Kampung Kuto Reh yang diserang, 11
Juni 1904. Dua Belanda tewas. Aceh kehilangan 313 pria, 189 wanita, 59
anak-anak.”
Komandan
Van Daalen memerintahkan agar jenazah yang bergelimpangan difoto.
Seorang Letnan bernama Colijn yang beragama Kristen menulis kepada
istrinya dalam Bahasa Belanda sehari-hari, ”Pekerjaan yang tidak
menyenangkan tetapi tidak ada pilihan lain. Para serdadu berpesta
menghujani mereka dengan bayonet.”.
Setelah
tahun 1945 muncul perhatian dari berbagai pihak tentang Perang Aceh.
Misalnya Madelon Székely-Lulofs yang menulis roman tentang pejuang Aceh
Cut Nya Dien. Atau roman yang menggugah berjudul Wisselkind yang
terbit tahun 1998 yang ditulis Basha Fabers . Paul van ’t Veers
dengan karyanya yang menawan berjudul De Atjeh-oorlog (Perang Aceh)
tahun 1869 . Atau buku De verbeelding van een koloniale oorlog
(Gambaran sebuah perang kolonial) tahun 2001 yang disusun oleh Liesbeth
Dolk berisi tulisan sepuluh penulis yang menggambarkan Aceh melalui
pers, literatur, seni dan film.
Ingatan
tentang Perang Aceh sesudah 2001 tidak berhenti begitu saja, oleh sebab
itu perlu ditelaah aktualisasinya. Pada tahun 2004 muncul skripsi
doktoral yang tidak begitu dikenal yang ditulis oleh Lucia Hogervorst,
van etnocentrisme naar cultuurrelativisme (Dari Etnosentrisme ke
Relativitas Budaya). Isinya mengenai pendapat umum di Belanda setelah
tahun 1945 tentang sejarah kolonial. Beliau mendasarkan penelitiannya
antara lain pada buku sejarah di sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama pada tahun 1950-an, 70-an dan 90-an tentang Perang Aceh.
Setelah
itu ia mengukuhkan pendapatnya sekali lagi melalui tulisannya De (niet
te) vergeten oorlog in Atjeh (Perang di Aceh yang (tidak untuk)
Dilupakan) melalui penerbitan khusus pada tahun 2010 untuk memperingati
’65 tahun berakhirnya Perang Dunia Kedua. Pendidikan Protestan pada
tahun 1950-an menceritakan kisah tentang seorang Sultan Aceh (seorang
bangsawan yang berdaulat - Red) yang tidak mau tunduk pada Pemerintah
Belanda dan masyarakat Aceh yang dipandang sebagai para bajak laut yang
beringas, oleh sebab itu mereka harus dikoreksi.
Maka
anggapan ‘harus dikoreksi’ inilah yang menjadi alasan mengapa Belanda
menduduki Aceh (‘menduduki’ bagi Aceh sama dengan menyerang dan
menjajah- Red). Buku sejarah di sekolah Katolik nyaris tidak memberi
informasi tentang Perang Aceh itu sendiri tetapi menceritakan ratusan
kali tentang Pendeta Verbraak yang bertahun-tahun bertugas menangani
‘jiwa-jiwa damai para pemberani’.
Buku
itu memuji perjuangan para serdadu Pasukan Hindia-Belanda yang
pemberani. Dengan perjuangan berat para serdadu Belanda berhasil
mengembalikan ketentraman di Aceh sementara orang Aceh sendiri
’sesekali’ masih melawan Belanda (‘mengembalikan ketentraman’seolah-olah
Aceh yang pribumi sudah secara sah menjadi bagian dari Kerajaan
Belanda- Red).
Tetapi
murid sekolah sebenarnya tidak belajar bagaimana Belanda selama
bertahun-tahun menjadi bagian dari petualangan keserakahan, bersaing dan
berseteru dengan sesama negara Eropa lain untuk mencari keuntungan dan
kekayaan di belahan dunia lain yang jauh dan belum dikenal. Orang
Belanda yang baik harus mencari keuntungan, bukan dengan jalan kebaikan
tetapi dengan menimbulkan banyak kerusakan. Maka Aceh pun menjadi korban
dari keserakahan itu.
Kepada
rakyat Belanda dikatakan bahwa pendudukan dilakukan untuk mengakhiri
bajak laut di Aceh. Kepada Amerika dan negara Eropa lain menurut kabar
burung (yang tidak diuji kebenarannya) dikatakan bahwa tindakan itu
dilakukan untuk mempersiapkan kesepakatan yang menguntungkan dengan
Sultan Aceh dan untuk mengambil alih wilayah kekuasaannya.
Maka
Gubernur Jendral di Batavia secara tergesa mengumumkan perang dengan
Sultan Aceh dan mendaratlah pasukan ekspedisi Belanda pada tanggal 8
April 1873 di Aceh. Tetapi ketika Jendral Belanda, Köhler, yang berkuasa
tewas terbunuh di bawah pohon geulumpang dekat Masjid Raya di Kutaraja
maka tewas pula kekuasaannya dan ekspedisi pertama itu pun gagal.
Pada
tahun 1874 terjadilah Perang Aceh Kedua di bawah pimpinan Jendral van
Swieten yang pensiun namun diaktifkan kembali. Ketika kerajaan milik
Sultan Aceh diduduki, dengan penuh kemenangan beliau mengirim pesan ke
Belanda ‘kerajaan sudah kita duduki’, tetapi yang sebenarnya terjadi
adalah kerajaan itu kosong melompong dan burung-burung pun beterbangan
dari dalamnya.
Sesudah
itu diikuti oleh tahun-tahun penuh kritik terbuka dari para bawahan di
antara yang menonjol adalah Kapten Borel. Muncul lagi seorang jenderal
baru, kali ini dengan taktik pertahanan 16 benteng di sekitar Kutaraja.
Mereka bertahan selama bertahun-tahun dengan cara bersembunyi di
benteng-benteng tersebut, demikian menurut Snouck Hurgronje.
Kemudian
muncul Jendral Karel van der Heijden, alias Kareltje Eénoog (Karel
Bermata Satu), setelah beliau kehilangan satu matanya dalam peperangan.
Taktiknya adalah ‘hukuman sebagai pelajaran’, dengan kata lain ribuan
orang Aceh dibunuh dan ratusan kampung di Aceh habis dibakar, tetapi
kemenangan perang tetap tidak tercapai. Kemudian diikuti oleh Jendral
Van Heutsz yang kali ini mendapat giliran.
Terinspirasi
oleh visi spesialis Islam asal Belanda, Snouck Hurgronje, beliau
menjalankan taktik aksi kontra gerilya yang bergerak ofensif secara
berkala ke pedalaman Aceh yang bergunung-gunung, yang untuk beberapa
waktu lamanya belum terjamah manusia.
Anda
bisa membayangkan Van Heutsz, dengan tangan di belakang, perut buncit,
memberi kesan sebagai seorang militer superior yang arogan. Tetapi di
bawah kepemimpinan penerus Van Heutsz, yaitu Van Daalen, baru terjadi
perubahan.
Selama
‘ekspedisi’nya ke pedalaman Gayo dan Alas, semua isi kampung dibunuh.
Van Daalen dan pasukannya memerintahkan agar apa yang mereka lakukan
diabadikan melalui foto, dengan penuh kebanggaan, yaitu tumpukan mayat
dengan seorang anak lelaki yang kebetulan selamat dari huru-hara itu
disampingnya.
Para
pejabat Belanda yang dipermalukan oleh Van Daalen menulis secara anonim
kenyataan yang mencengangkan itu di koran-koran Belanda. Para anggota
Parlemen yang terkejut (di antaranya Victor de Stuers) mengkritik bahwa
’Pemerintah menyebutnya ekskursi, tetapi saya menyebutnya sejarah
pembunuhan’. Koran Het Volk menulis pada tanggal 17 Juli 1904 ‘sebuah
negara yang beradab dan berperikemanusiaan tidak seharusnya menyanjung
seseorang (Van Heutsz) yang telah menumpahkan darah’. Maka
dalam sekejap berubahlah gambaran tentang negara Belanda yang beradab
yang bukan melancarkan perang melainkan pasifikasi dan mengembalikan
ketenangan serta menegakkan peraturan, menjadi negara Belanda yang
berkhianat, tidak dapat dipercaya, terbius oleh opium dan seks.
Tiba-tiba orang-orang Belanda bukan pahlawan lagi melainkan para
pembunuh massal.
Sejak
tahun 1970-an buku-buku sejarah tidak lagi menampilkan kisah-kisah
kepahlawanan melainkan informasi berdasarkan fakta yang ditulis secara
singkat, contohnya ’setelah perjuangan berdarah selama bertahun-tahun
maka Aceh berhasil dikuasai. Banyak korban pribumi yang jatuh’. Pada
tahun 1990-an ditulis demikian ’hingga tahun 1900 orang Belanda hanya
ingin mencari untung di Indonesia.
Lalu
pada tahun 1873 orang Belanda ingin menguasai Aceh karena di sana
banyak sumber minyak dan gas sehingga orang Belanda harus melancarkan
perang. Orang Aceh melakukan perlawanan’ (yang benar adalah orang Aceh
yang pecinta kemerdekaan ingin tetap merdeka, maka dengan segala
kekuatan mereka menolak agresi Belanda. Itu berbeda artinya dengan
melakukan perlawanan- Red).
Ketika
akhirnya orang Aceh berhenti melawan, hal itu bukan menyerah seperti
yang dipikirkan Belanda, tetapi mereka ’mencuri’ waktu untuk kelak
bersama-sama dapat bangkit lagi dan mengusir Belanda dari Kutaraja
sesaat sebelum Jepang menyerang Aceh pada bulan Maret 1942. Sebagaimana
yang dicatat sejarah.
Pameran
Van heldendaad tot schandvlek – het Nederlands koloniaal verleden in de
geschiedenisboekjes (Dari tindakan patriotik menjadi noda yang
memalukan - Penjajahan Belanda di masa lalu dalam buku sejarah) di
Museum Pendidikan Nasional di Rotterdam tahun 2005 mendapat inspirasi
dari skripsi doktoral Lucia Hogervorst. Pameran yang sama pada tahun
2006 digelar di Museum Bronbeek di Arnhem dengan menggunakan judul Het
Nederlands koloniaal verleden in de geschiedenisboekjes(Pejajahan
Belanda di Masa Lalu dalam Buku Sejarah).
Foto Kontroversi
Judul
Van heldendaad tot schandvlek (Dari tindakan patriotik menjadi noda
yang memalukan) tampaknya tidak dapat diterima di Arnhem karena dianggap
terlalu peka untuk para pejuang Bronbeek. Kepekaan yang sama juga
tercermin melalui komentar-komentar pers tentang pameran di Rotterdam
seperti dalam koran NRC dan Nederlands Dagblad yang berkiblat Protestan.
Bagaimana
di Aceh? Pada awalnya Aceh bersikap antusias setelah Perang Dunia Kedua
dengan dinyatakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Tetapi tak lama kemudian Aceh segera menyadari munculnya
kolonialisme Jakarta. Maka dimulai lagi perjuangan kemerdekaan yang
sengit selama bertahun-tahun. Tiba-tiba terjadi tsunami tahun 2004,
sebuah tragedi di luar batas kemanusiaan.
Tetapi
Perang Kolonial Belanda di Aceh tampaknya berhasil bertahan dari
bencana itu. Puisi-puisi kepahlawanan masih ditemukan. Contoh yang
menarik misalnya Hikayat Perang Sabil dari Abad ke-19. Hikayat
bercerita tentang perang mempertahan diri yang terjadi di Aceh melawan
penjajah Belanda yang agresif dan dengan cepat menarik simpati orang
Aceh yang beragama Islam. Pesan Hikayat yang kuat sangat sesuai dengan
jiwa perjuangan rakyat Aceh.
Hikayat
menyerukan agar rakyat Aceh melancarkan perang jihad melawan orang
Belanda yang tidak beragama. Di bawah kekuasaan Belanda yang tidak
beragama maka rakyat Aceh tidak dapat lagi menjalankan keyakinan mereka.
Pembunuhan dan kematian akan terjadi di mana-mana. Keyakinan mereka,
Islam, akan diancam oleh penjajah. Adat istiadat mereka juga akan
dilarang. Belum lagi persoalan perilaku para serdadu Belanda yang tidak
bermoral, pemerkosaan dan lain-lain.
Setiap
orang Aceh, setiap pria dan wanita dan anak-anak dengan demikian harus
berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajah. Perang melawan Belanda
adalah perang seluruh rakyat. Imbalannya, surga. Jika tidak
berpartisipasi maka hukumannya adalah api neraka. Satu hari bertempur
melawan Belanda mendapat pahala jauh lebih besar daripada seribu hari
naik haji di Mekah. Jihad adalah cara kematian yang terindah. Karena
setiap orang ikut bertempur maka sulit untuk memisahkan para pejuang
dengan yang bukan pejuang.
Tetapi
ketika orang-orang Belanda setelah perang selama 30 atau 40 tahun
menjadi semakin kuat dan tampaknya dekat dengan kemenangan, maka Aceh
menyerahkan diri pada Belanda, namun dengan syarat bahwa orang-orang
Belanda pertama-tama harus mengakui Islam sebagai agama mereka. Jika
Aceh menyerahkan diri, tidak berarti sebagaimana yang kita pahami
sebelumnya bahwa mereka juga rela dikuasai. Penyerahan diri itu hanya
merupakan taktik untuk membenahi kekuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar