Berikut ini adalah penuturan sejarahwan asal Belanda tentang perang Aceh.
“Ratu,
akan sangat indah sekali jika kita bisa berbaik kembali dengan rakyat
Aceh, yang sudah berperang dengan kita begitu lama di masa lalu. Pada
tahun 1873 kita mengumandangkan perang pada Aceh. Tetapi perdamaian
dengan Aceh tidak pernah tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya
untuk menyatakan penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf
sejujur-jujurnya dari hati yang terdalam...”
Penulis oleh Nico Vink
Tahun
1600, serangan di Nieuwpoort. Siapa yang masih membicarakan Perang
Aceh? Siapa yang tahu mengapa Gubernur Jendral Loudon di Batavia
(Jakarta) yang otokratis, keras kepala, impulsif dan gigih memulai
perang melawan Aceh tahun 1873? Berapa tahun perang ini berlangsung?
Siapa yang tahu di sungai mana, di benteng Aceh yang mana, di semak
belukar yang mana, di bukit dan gunung yang mana, di kampung yang
terbakar mana serta kebun kelapa yang mana tempat para serdadu Belanda
dan Aceh saling melemparkan klewang satu sama lain?
Siapa
yang masih ingat nama kampung-kampung di Aceh tempat para pejuang Aceh
dapat berleha-leha dengan 70 bidadari yang cantik setelah ’pasifikasi’,
’ekskursi’, ’pendisiplinan’ Belanda? Masih ingatkah kita bagaimana
Jendral Köhler, komandan pasukan invasi Belanda tahun 1873, terbunuh di
bawah pohon geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja? Tentang Jendral
van der Heijden, alias Kareltje Eénoog, yang bersujud kepada orang-orang
Aceh menyatakan terima kasihnya karena dia masih bisa selamat?
Siapa
pula yang masih ingat tentang Belanda yang sebelum melancarkan Perang
Aceh Kedua mengaktifkan kembali Jendral van Swieten yang sudah pensiun?
Siapa yang tidak pernah mendengar bertahun-tahun kemudian, setelah
Perang Aceh yang kesekian-kalinya, cerita Jendral Van Heutz tentang para
serdadu KNIL yang runtuh semangatnya, namun kemudian terinspirasi oleh
pemikiran Snouck Hurgronje, seorang Belanda yang mendalami Islam, maka
semangat bertempur para serdadu itu bangkit kembali? Yang dengan tenang
mengejar dan membuat kaget orang-orang Aceh di gunung-gunung dengan
senjata modern, klewang dan taktik anti-gerilya yang baru.
Van
Heutsz yang menangkap orang Aceh yang pemberani dan pecinta
kemerdekaan, pertama-tama kakinya dulu, kemudian lehernya dan dengan
hati-hati dipukulnya lalu kemudian mencoba mengambil hati mereka.
Terakhir, siapa yang tidak mengenal –saya hanya menyebut satu nama saja
sementara ini – Van Daalen yang kejam, seorang militer yang memandang
rendah pribumi.
Pada
aksi kontra terorisnya, kekejaman dan kesadisan bukan hanya sesekali
tetapi sistematis. Sebagaimana yang ditulis seorang polisi militer
dengan nama samaran ’Wekker’ – yang pernah dipermalukan oleh Van Daalen –
pada tahun 1907 melalui 17 artikel di koran ’De Avondpost’ (Koran
Malam) yang terbit di Den Haag ,” para tahanan dibunuh (sebagai
pelajaran lalu jasad mereka dijajarkan), kaum wanita dan anak-anak
ditembak, para pemberi informasi yang ragu-ragu disiksa, para sandera
disekap dalam kurungan, rumah tinggal, mesjid dan kampung-kampung
dibakar habis.
Sesudah
Van Heutsz diangkat menjadi gubernur jendral bersama dengan komandan
militer Belanda saat itu atas perintah Menteri di Den Haag, maka kritik
di parlemen pun mereda. Van Daalen dibebaskan dari segala tuduhan
(harusnya diadili dulu oleh pihak yang netral). Angkat topi.
Nama-nama
para pemimpin besar Aceh saat itu seperti Tiro, Panglima Polim, Teuku
Umar dan istrinya yang penuh semangat perjuangan, Cut Nya Dien, saya
rasa tidak perlu dipertanyakan lagi. Ambil contohnya Teuku Umar. Pada
awalnya beliau membiarkan dirinya didekati oleh Belanda, mendapat titel
yang baik dan ribuan prajurit Aceh di bawah komandonya dilatih dan
dipersenjatai oleh Belanda yang ’tidak beragama’. Setelah itu beliau
menyeberang ke kubu Aceh, musuh Belanda. Di mata penjajah tindakannya
dianggap sebagai sebuah pengkhianatan besar.
Tetapi
orang Aceh yang bertelanjang kaki menilainya tidak demikian. Di mata
mereka, Belanda terperosok dalam perangkap Teuku Umar. Janda Teuku Umar,
Cut Nya Dien, juga mempunyai semangat berjuang yang berkobar. Dengarlah
bagaimana beliau mengimbau agar rakyat Aceh berjuang melawan penjajah.
”Rakyatku,
orang-orang Aceh, ingatlah ini, jangan pernah lupakan! Mereka menentang
Allah dan membakar Mesjid Raya (di Kutaraja)! Jangan pernah lupakan dan
jangan pernah memaafkan para kafir Belanda!! Perlawanan Aceh tidak
hanya dalam kata-kata.
Tentu
saja di Belanda ada sekitar 44 atau 444 orang Belanda asli, Indo, para
pensiunan KNIL di Bronbeek. Belum lagi orang Maluku, anggota Yayasan
Kerkhof Pecut, dosen universitas yang muda dan tua, para pelajar asal
Aceh, kelompok pecinta literatur Indische Letteren, keturunan para
pegawai pemerintah Belanda dan para pengajar sekolah dasar Eropa di
Hindia-Belanda, dulu, yang tahu soal Perang Aceh. Kadang mereka malah
sangat banyak tahu hingga membuat kita terkejut. Tetapi lebih dari itu
saya kira hanya tinggal sejarah. Menyedihkan.
Dari
mereka yang menganggap Perang Aceh sudah mati, kita tidak mendengar
lagi kisah tentang perang ini. Logis. Yang lainnya, ”Bagi mereka yang
menganggap Perang Aceh belum sepenuhnya mati, masih sesekali menulis,
bahwa ’peringatan tentang Perang Aceh tampaknya sudah mati, sebuah masa
lalu yang sudah mati,
Mereka
tidak menyesalinya sama sekali, karena kita tidak bisa belajar apa-apa
lagi dari perang ini, begitu pendapat mereka. Sementara yang setengahnya
lagi, para ahli literatur dan sejarawan, dengan fakta-fakta kosong juga
telah membuat perang ini seolah-olah mati.
Contohnya
adalah Menke de Groot. Untuk merehabilitasi nama Kapten Borel yang
memimpin Pasukan Hindia-Belanda dan membebaskan tuduhan terhadap Jendral
Swieten, pemimpin KNIL yang dituduh bersalah melakukan pembakaran dan
pembunuhan massal, maka pada tahun 2009 beliau menulis sebuah buku tebal
tentang Perang Aceh Kedua membahas kedua pemimpin tersebut.
Bagaimana
orang dapat percaya padanya, diperlukan penjelasan. ’Hati-hati dengan
pendapat sembrono orang-orang seperti Multatuli dengan pemikiran
filantropisnya yang menyesatkan tentang Perang Aceh’, demikian serunya.
Sayang sekali bahwa de Groot dalam buku edisi cetak ulangnya hanya
menyebut ’lembaga militer’dalam Perang Aceh Kedua. Padahal Perang Aceh
Pertama, Ketiga dan Keempat sama sekali tidak identik dengan Perang Aceh
Kedua.
Akan
sangat menarik sekali jika de Groot menempatkan Perang Aceh ’nya’ dalam
konteks kolonial, dengan sudut pandang saat itu dan sudut pandang saat
ini. Sayang sekali beliau tidak menangkap kesempatan itu.
Berbagai
lagu rakyat Belanda menunjukkan bagaimana pada saat terjadinya Perang
Aceh kita melihat diri kita sendiri sebagai penjajah Belanda yang
beradab dan Aceh yang barbar, serta bagaimana beruntungnya saat itu bagi
Aceh karena kita ingin ’menciptakan perdamaian’ di sana.
Paasman
mencatat, banyak tentang lagu-lagu tersebut adalah lagu untuk
membangkitkan semangat, lagu tentang keadilan, lagu tentang polisi
militer, lagu perpisahan, lagu peringatan, lagu tentang pahlawan, lagu
jalanan, lagu cinta mendayu-dayu dan lagu-lagu kabaret .. Contohnya
lagu Militair Atchinlied karya P Haagsma,
“Naar Atchin, de Kraton! Daar zetelt het kwaad.
Schuilt ontrouw, broeit zeeroof en smeulde verraad;Roeit uit dat geboredsel, verneder die klant;
Met Nederlands driekleur ‘beschaving’geplant.”
Ke Aceh, Kerajaan! Disanalah bersarangnya kejahatan.
Sembunyikan kepalsuan, sarang bajak laut dan penuh pengkhianatan;
Teriakilah kekacauan itu, permalukanlah;
Dengan ’peradaban’Belanda tiga warna.
Setiap pembunuh muda menyanyikan lagu jalanan yang populer ini,
En Teuku Oemar, die moet hangen;
Aan een touw, aan een touw,
Teuku Oemar en zjn vrouw.
Dan Teuku Umar, harus digantung;
Dengan tali, dengan tali,
Teuku Umar dan istrinya.
Para pahlawan Hindia-Belanda yang gagah berani pun tak dilupakan,
Wie kent er niet die brave zielen
Die aan het verre Atjehstrand
Al voor de eer van Nederland vielen
't Rood, Wit, Blauw in hun verstijfde hand?
We zullen hunnen assche eeren, wreken,
En waar ik ga of sta of zit, zal ik hun naam met eerbied spreken
Want dat waren jongens van Jan de Witt.
Siapa yang tidak kenal jiwa-jiwa yang berani
Yang berjuang di pantai Aceh yang jauh
Gugur demi kehormatan Belanda
Warna merah, putih dan biru di tangan mereka yang sudah kaku?
Kita akan menghormati dan membela jasad mereka,
Dimanapun aku berada, berdiri atau duduk, aku akan menyebut nama mereka dengan penuh hormat.
Karena mereka adalah para pemuda Jan de Witt.
Kumpulan puisi yang sesungguhnya untuk orang dewasa. Puisi bertema kepahlawanan yang benar-benar khas Belanda, termasuk lagu pengantar tidur tentang Perang Aceh, sejauh yang saya tahu belum pernah ditulis.
Penulis Nico Vink.
Penulis adalah dosen HEAO (Den Haag), dosen Fakultas Obyek Indutrial/Teknik Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim dan Oslo, Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA) dan penulis buku Verbannen uit Indie (1936-1945) Walburg Pers Zutphen, 2007.
sumber:atjehcyber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar