Daarom, teungkoes, weest niet nalatig.
Volbrengt de godsdienstplichten, o broeders.
O, vrienden, er is geen enkele goede daad,
Die het oorlogvoeren overtreft.
De Heilige Oorlog is u als plicht opgelegd,
Begrijpt dat goed, o broeders!
Eerst komt de geloofsbelijdenis, dan de sembahjang
(dagelijks 5x bidden-Red),
Ten derde het oorlogvoeren tegen de Hollanders.
Oleh sebab itu, tengku, jangan tidak peduli
Kerjakanlah kewajiban beragama, o saudaraku
Oh, kawan, tidak ada satu pun kebaikan,
Yang melebihi perjuangan dalam peperangan
Perang jihad adalah kewajibanmu
Pahamilah hal itu, o saudaraku!
Pertama membaca syahadat, kemudian shalat,
Ketiga berperang melawan Belanda.
Sementara
Teuku Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda, sang istri, Cut Nya
Dien, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi mereka:
Hé, mijn kleine jongen, mijn beminde zoon, je bent een man,
Je
vader, je grootvader zijn ook mannen, toon je manlijkheid,De
Christenhonden willen ons land bezetten,Zij willen onze godsdienst
inruilen coor hun godsdienst, De godsdienst van de
christenhonden.Verdedig de rechten van ons Atjenees volk,Verdedig onze
godsdienst, de Islamitische godsdienst. O, mijn zoon, volg de voetsporen
van je vader,Teuku Ibarhim Lamnga, nu hij niet thuis is.Denk maar niet
dat je vader met z’n vrienden op stap isOm de komst van de
Christenhonden te vieren,Hij is op weg om hen te verjagen uit het land
Atjeh.
Hai, anak lelakiku, anak lelaki kesayanganku, kau seorang lelaki,
Ayahmu,
kakekmu juga laki-laki, tunjukkan keperkasaanmu,Anjing-anjing Kristen
ingin menguasai negara kita,Mereka ingin menukar agama kita dengan agama
mereka,Agama para anjing Kristen.Belalah hak rakyat Aceh,Belalah agama
kita, agama Islam.O, anak lelakiku, ikutilah jejak ayahmu,Teuku Ibrahim
Lamnga, yang sekarang tidak di rumah,Jangan kira ayahmu sedang
bersenang-senang dengan temannya,Untuk merayakan kedatangan para anjing
Kristen, Beliau pergi untuk mengusir mereka dari tanah Aceh.
Sampai
sekarang hikayat masih tetap aktif dihidupkan. Pada tahun 2007 terbit
versi kartun kisah hikayat untuk anak-anak sekolah di Aceh. Sampai
sekarang para ibu juga masih menyanyikan lagu pengantar tidur untuk
bayi-bayi mereka. Lagu-lagu dodaidi mengajarkan pada anak-anak Aceh agar
kelak harus membantu para pejuang Aceh. Ini salah satu lagu dodaidi
Tiada Tuhan selain Allah
Rasul telah berpulang
Kembali ke pangkuan Allah
Beliau meninggalkan Al Qur’an untuk kita
Do idi ku doda idang
Tali layang-layang di udara telah putus
Jadilah anak yang kuat, oh Banta Seudang
Ikutlah bertempur dalam peperangan, selamatkan Aceh.
Apakah
Perang Aceh yang di Aceh disebut sebagai Perang Penjajahan Belanda
masih diingat? Mehmet Ozay membantu saya pada Januari 2010 mewawancarai
lebih dari 25 murid sekolah, mahasiswa dan dosen di Banda Aceh (24).
Bagaimana mereka mengenang Perang Aceh?
”Jakarta”
tidak pernah mempunyai perhatian terhadap sejarah daerah, tetapi
memusatkan perhatian hanya pada sejarah Jawa dan hanya mengakui
pahlawan-pahlawan nasional yang di dalamnya termasuk Teuku Umar dan Cut
Nya Dien. Bagi ”Jakarta”, Aceh merupakan hal yang peka. Generasi muda
Aceh tidak diperkenankan untuk menjadi patriot Aceh.
Oleh
sebab itu seberapa jauh pelajaran tentang Perang Penjajahan Belanda
diberikan di sekolah di Ace sangat bergantung pada pengajarnya. Sejak
penandatanganan Kesepakatan Helsinki antara Aceh dan ’Jakarta’ tahun
2005 maka ketertarikan secara terbuka di Aceh terhadap Perang Penjajahan
Belanda semakin meningkat. Para kakek tanpa rasa takut dapat
menceritakan kembali kisah perjuangan mereka kepada cucu-cucu. Para
pengajar sekolah dasar dan sekolah menengah menceritakan dalam pelajaran
sejarah bagaimana rakyat Aceh dengan gagah berani melawan penjajah
Belanda hanya dengan bersenjatakan bambu, rencong dan klewang.
Di
sekolah menengah atas, tugas mata pelajaran Imperialisme dan
Kolonialisme di Indonesia merujuk pada perang tersebut. Di tingkat
universitas di jurusan sejarah diperbandingkan visi para sejarawan Aceh
dengan visi para sejarawan Belanda. Bagaimana Jendral Belanda Köhler
pada Perang Aceh Pertama tahun 1873 dibunuh oleh rakyat Aceh di bawah
pohon geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja sangat populer untuk
dibahas.
Dan
bagaimana Teuku Umar mengelabui Belanda juga dengan sendirinya berada
dalam urutan teratas pembahasan. Mereka selalu memandang ahli Islam asal
Belanda bernama Snouck Hurgronje dengan pengetahuannya tentang Aceh
sebagai pengkhianat. Sebagaimana Belanda mengenal Van Heutsz, para murid
dan mahasiswa Aceh juga mengenal para pahlawan mereka.
Mereka
telah melihat pameran foto tentang Perang Belanda di Museum Aceh dan
mereka juga mengenal Hikayat Perang Sabil. Dan dengan wisata sekolah ke
Makam Belanda Kerkhof di Banda Aceh, makam militer Belanda terbesar di
Aceh tempat bersemayam sekitar 2.200 militer KNIL, mereka melihat dengan
mata kepala sendiri bahwa Perang Belanda di Aceh bagi Belanda sendiri
bukan hal yang ringan.
Di
makam ini mereka juga melihat nama-nama asal Ambon, Menado dan Jawa
yang menjadi bukti betapa kreatifnya Belanda untuk saling mengadu domba
orang Indonesia antara satu dengan lainnya. Sementara Jawa sudah
beberapa ratus tahun menjadi jajahan Belanda, maka Aceh setelah 70 tahun
berperang sebenarnya belum benar-benar berhasil dikuasai oleh Belanda.
Hal
ini sampai sekarang masih diceritakan oleh orang Aceh dengan penuh
kebanggaan. Pastilah bukan tanpa sebab bahwa orang Aceh masih mengingat
Perang Penjajahan Belanda yang terjadi antara 70 hingga 140 tahun yang
lalu di samping tragedi tsunami tahun 2004. Kursus tambahan bagi para
pengajar tentang perang tersebut akan dilakukan di masa depan dan sebuah
pameran foto besar-besaran pada tahun 2011 tentang perang tersebut juga
sedang dalam tahap persiapan.
***
Perang
Dunia Kedua dan pembunuhan Yahudi oleh Nazi memang sudah selayaknya
mendapat tempat dalam pendidikan sekolah kita di Belanda. Kedua subyek
sejarah tersebut beruntung mendapat tempat yang dominan dalam otak
generasi muda kita. Tetapi hal itu juga sayangnya menimbulkan beberapa
dampak negatif. Kapasitas otak relatif kecil dan kita khawatir tidak ada
tempat lagi untuk subyek sejarah yang penting seperti Perang Aceh yang
berlangsung selama 30, 40 atau bahkan 70 tahun. Juga terlalu sedikit,
sangat sedikit perhatian yang diberikan para dosen untuk episode yang
sangat berarti ini dalam sejarah kita.
Akibatnya
adalah ingatan yang semakin terpinggirkan tentang perang ini. Hal ini
diperburuk oleh banyaknya monumen kenangan dan peringatan di negara kita
tentang Perang Dunia Kedua namun sangat sedikit sekali tentang Perang
Aceh. Monumen dan tempat-tempat bersejarah di Aceh buat kita jauh
letaknya dan dengan demikian juga tidak mudah untuk dikunjungi secara
massal dari negara kita.
Begitu
banyak monumen bertema Perang Dunia Kedua namun monumen Perang Aceh
sampai sekarang nyaris tidak mendapat perhatian. Tampaknya ada
kecenderungan kuat bahwa kecintaan kita pada kemerdekaan hanya berlaku
untuk diri kita sendiri. Orang lain selalu salah dan harus merasa malu
jika mereka mengancam dan merebut kemerdekaan kita, tetapi jika kita
merampas kemerdekaan orang lain (misalnya rakyat Aceh), maka kita dengan
sendirinya segera menerapkan standar keadilan yang berbeda atau kita
mengalihkan perhatian ke arah lain.
Untungnya
hal itu akan segera berakhir karena sejak tahun ini perubahan akan
terjadi. Sekarang Komite 4 & 5 Mei (Komite di Belanda untuk
memperingati Hari Kemerdekaan Belanda dari Pendudukan Jerman) bukan
hanya memikirkan tentang kemerdekaan kita tetapi juga kemerdekaan semua
orang di seluruh dunia. Juga rakyat Aceh sekarang (dan juga pada masa
lalu jika boleh saya tambahkan).
Bicara
tentang monumen, kita pernah memiliki monumen Van Heutsz di Amsterdam.
Tetapi karena Van Heutsz merupakan simbol perdebatan (Peter van
Zonneveld telah merumuskannya dengan baik) (25), maka nama monumen
tersebut diganti menjadi Monumen Indïe-Nederland (Indonesia-Belanda) dan
berubah maknanya menjadi kenang-kenangan tentang hubungan antara
Belanda dan Indonesia pada masa kolonial.
Tetapi
monumen itu tidak terfokus pada Perang Aceh. Juga ketika monumen itu
masih bernama Monumen Van Heutsz, nyaris tidak seorang pun yang tahu
bahwa itu adalah monumen Aceh milik kita. Van Heutsz adalah komandan
militer di Aceh dan Gubernur Aceh antara tahun 1890-1904. Perang Aceh
dimulai tahun 1873 dan berlangsung hingga 1942 (ada berbagai pendapat
tentang hal ini).
Jadi
ada Perang Aceh sebelum dan sesudah Van Heutsz. Sekitar empat atau lima
Perang Aceh seluruhnya, setiap kali dengan komandan militer yang
berbeda. Sudah saatnya dibangun sebuah monumen yang khusus untuk
memperingati Perang Aceh, yang dimulai sejak invasi di Aceh tahun 1873
dan berakhir dengan perlawanan seluruh rakyat Aceh hingga keluarnya
Belanda dari Aceh tahun 1942. Sebuah monumen tentang agresi dan
pendudukan Belanda serta pembebasan Aceh.
Sebuah
monumen yang menggambarkan sisi kemanusiaan dan kebiadaban Belanda dan
Aceh yang terjadi selama masa itu. Kisah-kisah dalam buku sejarah juga
harus lebih kaya, lebih menarik, lebih menghanyutkan, lebih komunikatif.
Tentang Aceh dan Perang Aceh harus disediakan bukan lagi dana melainkan
kreativitas yang informatif. Harus ada film atau serial televisi yang
menarik tentang Perang Aceh yang sungguh-sungguh menggambarkan daerah
dan rakyatnya, yang menggambarkan Aceh seratus tahun yang lalu
sebagaimana aslinya.
Otentik.
Menampilkan bukan hanya orang Belanda tetapi juga para serdadu KNIL
asal Ambon, Menado dan Jawa, para pejuang Aceh serta wanita dan
anak-anak. Jadi bukan semacam tokoh karikatur pemberani yang
diromantisasi ala Filipina sebagaimana film NCRV tahun 1996. Aceh dan
Perang Aceh harus dihidupkan kembali. Untungnya pada tahun 2009 het
Indisch Herinneringscentrum (Lembaga untuk memperingati sejarah tentang
Indonesia) atau disebut juga IHCB di Bronbeek dibuka. Pertengahan
Agustus 2010 akan diselenggarakan pameran berjudul Het verhaal van
Indië (Kisah tentang Indonesia) di Bronbeek
.
Sekarang
akhir ’Periode Pemerintahan Beatrix’ semakin mendekat, maka saya ingin
menyerukan hal ini pada Sang Ratu: Ratu, akan sangat indah sekali jika
kita bisa berbaik kembali dengan rakyat Aceh, yang sudah berperang
dengan kita begitu lama di masa lalu. Pada tahun 1873 kita
mengumandangkan perang pada Aceh. Tetapi perdamaian dengan Aceh tidak
pernah tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya untuk menyatakan
penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf sejujur-jujurnya dari hati yang
terdalam. Ingatan akan Perang Aceh sama sekali belum mati.
sumber:www.atjehcyber.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar