Label

Jumat, 12 April 2013

Detective Quest: Misteri kisah pembunuhan Aktivis Munir di Pesawat Garuda


Kasus pembunuhan Aktivis Munir merupakan salah satu misteri yang ada di indonesia. Sampai sekarang masih banyak misteri dibalik kasus ini yang diduga didalangi oleh badan intelejen Negara.
Berikut ini kronologi kasus kematian Munir:

6 September 2004 Pukul 21.55 WIB
6 September 2004 malam, di lobi Bandara Soekarno Hatta, Munir Said Thalib akan berpisah dengan istrinya, Suciwati, selama satu tahun. Munir akan melanjutkan studi S2 hukum di Universitas Utrecht, Belanda. Pada saat ingin memasuki pintu pesawat kelas bisnis, Munir bertemu Pollycarpus (anggota pilot senior Garuda Indonesia yang saat itu sedang tidak bertugas). Munir dan Polly pun bertukar tempat duduk. Munir duduk di kursi 3 K kelas bisnis, sedangkan Polly duduk di kursi 40 G kelas ekonomi. Di depan toilet kelas bisnis, Polly bertemu purser Brahmanie Hastawaty. Sebelum pesawat terbang, Yetti Susmiarti dibantu Oedi Irianto (pramugari dan pramugara senior), membagikan welcome drink kepada penumpang. Munir memilih jus jeruk.

Pukul 22.02 WIB, pesawat lepas landas. 15 menit setelah lepas landas, pramugari membagikan makanan dan minuman kepada penumpang. Munir memilih mie goreng dan kembali jus jeruk sebagai minumannya. Setelah terbang selama 1 jam 38 menit, pesawat transit di bandara Changi, Singapura. Penumpang diberikan kesempatan berjalan-jalan di bandara Changi selama 45 menit. Munir singgah ke Coffee Bean. Polly bersama seluruh kru pesawat menuju ke hotel dengan menggunakan bus.

Setelah selesai, Munir kembali ke pesawat. Di pintu masuk pesawat, Munir bertemu dr. Tarmizi. Tarmizi duduk di kelas bisnis, sedangkan Munir kembali ke tempat duduknya di kursi 40 G kelas ekonomi. Polly tidak lagi melanjutkan perjalanan karena memang memiliki tugas di Singapura.

Pesawat lepas landas pukul 01.53 waktu Singapura. Kali ini awak pesawat semuanya berbeda dari sebelumnya. Pramugari Tia Dwi Ambara menawarkan makanan kepada Munir, tapi Munir menolaknya dan hanya meminta segelas teh hangat. Tia pun menyajikan teh panas untuk Munir yang dituangkan dari teko ke gelas di atas troli dilengkapi dengan gula satu sachet. Tiga jam pesawat terbang, Munir mulai sering bolak-balik ke toilet. Ketika dia berpapasan dengan pramugara Bondan, dia mengeluh sakit perut dan muntaber. Dia pun menyuruh Bondan memanggil Tarmizi yang duduk di kelas bisnis sambil memberikannya kartu nama Tarmizi.

Tarmizi pun terbangun dan bertemu dengan Munir. Munir menjelaskan kondisi tubuhnya yang tampak sangat lemah dengan berkata, "Saya sudah muntah dan buang air besar enam kali sejak terbang dari Singapura." Tarmizi melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju Munir. Dia lalu mendapati bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat lemah. Tarmizi berpendapat Munir mengalami kekurangan cairan akibat muntaber. Munir kembali lagi ke toilet untuk muntah dan buang air besar dibantu pramugari dan pramugara. Setelah selesai, Munir ke luar sambil batuk-batuk berat.

Tarmizi menyuruh pramugari untuk mengambilkan kotak obat yang dimiliki pesawat. Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan tersegel. Setelah dibuka, Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu sangat minim, terutama untuk kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut mulas dan obat muntaber, semuanya tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat di tasnya. Dia memberi Munir dua tablet obat diare New Diatabs; satu tablet obat mual dan perih kembung, Zantacts dan satu tablet Promag. Tarmizi menyuruh pramugari membuat teh manis dengan tambahan sedikit garam. Namun, setelah lima menit meminum teh tersebut, Munir kembali ke toilet. Tarmizi menyuntikkan obat anti mual dan muntah, Primperam, kepada Munir sebanyak 5 ml. Hal ini berhasil karena Munir kemudian tertidur selama tiga jam. Setelah terbangun, Munir kembali ke toilet. Kali ini dia agak lama, sekitar 10 menit, ternyata Munir telah terjatuh lemas di toilet.

Dua jam sebelum pesawat mendarat, Munir terlihat keadaan Munir: mulutnya mengeluarkan air yang tidak berbusa dan kedua telapak tangannya membiru. Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan matanya dan menutupi tubuh Munir dengan selimut. Ya, Munir meninggal dunia di pesawat, di atas langit Negara Rumania.

11 September 2004
Jenazah Munir tiba Pangkalan Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh pada Sabtu (11/9) tepat pukul 21.10. Jenazah almarhum dan rombongan pengantar diangkut dengan Boeing 737 Merpati MZ-3300.

12 September 2004
Jenazah Munir, dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu, Minggu. Pihak kepolisian menyatakan dalam tubuh Munir terkandung zat arsenik yang melampui batas normal.

17 November 2004
Kontras, Suciwati dan tim kepolisian akan berangkat ke Belanda meminta akta otentik otopsi terhadap jenazah Munir.

Dalam tubuh Munir ternyata ditemukan zat arsenik yang melampaui batas kewajaran. Ada kandungan racun arsenik 460 mg didalam lambung, 3,1 mg /ltr dalam darah.’ Anehnya, setelah didalami oleh tim otopsi dari RSUD dr. Soetomo, kandungan arsenik di dalam lambung begitu aneh, karena seharusnya kandungan arsenik itu hancur. Ini terkesan mempertegas spekulasi jika kandungan arsenik dalam tubuh Munir baru dimasukkan ketika jenazahnya sudah di Indonesia. Spekulasi ini juga diperkuat dengan permintaan mereka untuk menahan lebih lama organ tubuh Munir. Spontan ini juga menimbulkan indikasi bahwa hal itu dilakukan agar organ tubuh Munir bisa dipersiapkan (dimark-up) agar benar-benar akan terkesan keracunan arsenik ketika diperiksa oleh pihak lain. Disebutkan juga ciri-ciri korban yang keracunan arsenik, antara lain: ada pembengkakan otak, paru paru yang mengalami kerusakan, mulut keluar darah karena indikasi kerusakan sistem pencernaan. Ketika arsenik masuk kedalam tubuh (dan racun mulai bekerja), biasanya korban mengalami muntaber berat disertai kejang-kejang.



Pada 23 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun membentuk Tim Pencari Fakta kasus Munir melalui Keppres Nomor 111 Tahun 2004 dalam upaya mencari dan menemukan hal yang melatarbelakangi pembunuhan Munir dan mengupayakan ditemukannya tersangka intelektual kasus ini. Anehnya, laporan dari TPF ini tidak pernah dipublikasikan kepada publik dalam bentuk apapun. Hingga pada tanggal 21 Agustus 2008, Muchdi PR yang pernah menjabat sebagai Deputi V Badan Intelijen Negara didakwa sebagai aktor intelektual dari pembunuhan Munir. Data dari TPF membuktikan bahwa Muchdi dan Pollycarpus memiliki hubungan dekat, 41 kali Muchdi menghubungi Polly dan ia pun memberikan uang sebesar 17 juta rupiah dalam tiga transaksi terakhir sebelum Munir dilenyapkan. Berdasarkan keterangan saksi Budi Santoso, Polly ternyata adalah anggota BIN secara non-organikyang direkrut oleh Muchdi PR sendiri.
Keterlibatan Muchdi PR dalam kasus Munir, berdasarkan buku putih yang diterbitkan oleh KontraS disinyalir akibat rasa tidak suka Muchdi terkait dengan sikap Munir yang kritis terhadap militer Indonesia pasca reformasi. Munir juga berperan dalam pengusutan penculikan mahasiswa 1997 yang melibatkan Muchdi, Prabowo Subianto, dan Chairawan yang menyebabkan ketiganya dicopot dari jabatannya. Hal yang ganjil terjadi dalam proses peradilan kepada Muchdi PR adalah, dirinya diputuskan terbebas dari segala dakwaan terkait “penggerak” dalam kasus pembunuhan Munir melalui putusan PN Jakarta Selatan Nomor 1488/Pid.B/2008. 
Tindak Kejahatan Negara
Pembunuhan terorganisir yang melibatkan aparat Negara dalam pelaksanaannya dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan yang dilakukan oleh Negara, atau state crime. Negara, dalam pandangan Marxist adalah sebuah entitas yang memiliki ‘public power’ termasuk siapa-siapa yang ada didalam aparaturnya sehingga mereka dapat memaksakan suatu tindakan dengan perlindungan legitimasi (Green, 2004:3).  Dalam hal ini, keterlibatan Muchdi PR yang saat itu menjabat di BIN dan merencanakan hal ini dapat dikatakan merepresentasikan wajah Negara secara tidak langsung. Pembunuhan Munir dengan racun ini juga dapat dikaitkan dengan model teror politik milik Antonio Cassesse, yaitu model perangkat formal dengan mengandalkan peraturan legal atau hukum untuk melemahkan, dan model represi dan teror kekerasan seperti pembunuhan atau penghilangan paksa (Cassesse, 1994).
Berdasarkan pengertian umum yang diberikan oleh Woodiwiss (2001:3) dalam mendefinisikan kejahatan terorganisir oleh Negara, ia mengatakan bahwa tujuan dari kejahatan terorganisir ini biasanya adalah uang dan kekuasaan. Dalam kasus pembunuhan Munir, memang belum terungkap tujuan khusus dari pelaku intelektualnya. Akan tetapi, tampak dari beberapa advokasi oleh Munir, banyak birokrat yang tidak senang karena dengan cara-cara illegitimate biasanya mereka memperoleh uang dan kekuasaan, dan hal itu secara tidak langsung menimbulkan korban yang pengusutannya diurus oleh orang-orang seperti Munir. Secara tidak beruntung, Munir cukup dikenal karena vokal dalam kasus-kasus yang melibatkan kejahatan aparat Negara ini dan menjadi target pelenyapan karena dianggap mengganggu.
Kejahatan yang dilakukan oleh Negara juga dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk penyimpangan organisasional yang melibatkan kerugian pada hak asasi manusia (Green, Ward, 2000). Tidak perlu dipertanyakan lagi apakah tindakan pembunuhan Munir secara terorganisir ini dapat dikatakan melanggar hak asasi manusia atau tidak. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, kehidupan dan menyatakan pendapat adalah hal yang termasuk kedalam hak dasar. Negara yang meratifikasi wajib melindungi hak ini, dan apabila melanggar maka Negara dapat dikatakan melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Terlebih lagi dalam kasus Munir ini, Negara ‘melenyapkan’ hak asasi manusia dari orang yang memperjuangkan hak tersebut.
Kejahatan yang dilakukan oleh Negara, biasanya tidak hanya memunculkan satu korban tapi efeknya akan sangat masif. Selain Munir dan keluarganya, banyak lagi korban yang sebenarnya muncul akibat dari kasus pembunuhan Munir oleh Negara ini. Berdasarkan perspektif dari viktimologi kritis, dapat dikatakan terdapat korban yang ‘tidak dapat kita lihat’ dari kasus-kasus kejahatan Negara ini (Croall, 2007:82).
Munir yang merupakan pejuang hak asasi manusia tentu saja memiliki peranan terhadap perkembangan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, lembaga-lembaga yang memiliki perhatian serupa juga akan menjadi korban secara tidak langsung dari kematian Munir yang telah malang melintang dan berani membela penegakkan hak asasi manusia ini. Begitu pula dengan korban-korban hak asasi manusia yang selama ini berkonsultasi dan berkaitan dengan Munir, mereka akan merasakan kerugian karena kehilangan sosok yang membela mereka yang tentu kalah oleh Negara. Dapat dikatakan, korban yang paling menderita dan kerugian yang paling besar dari dibunuhnya Munir adalah perkembangan penegakan hak asasi manusia Indonesia sendiri yang ikut terbunuh bersama pemikiran dan peran Munir dalam menegakkan hak asasi manusia.
Terdapat beberapa diskursus yang dilontarkan oleh khalayak umum bahwa pembunuhan Munir dilakukan dalam upaya untuk mengamankan integrasi Negara kesatuan, menurut pihak militer, mereka memiliki kemampuan menjaga tersebut dan upaya-upaya anti militerisme (yang disebut pihak militer) dilakukan oleh aktivis hak asasi manusia seperti Munir dapat mengancam hal tersebut.
Dalam pandangan kritis yang dikemukakan oleh Taylor, Walton, dan Young terkait dengan pendefinisan penyimpangan, dalam kasus ini Munir dianggap mengganggu, hal ini merupakan justifikasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas, bekerja dalam struktur yang memiliki kekuatan seperti aparat Negara (Wolhuter, Olley, Denham, 2009:20). Tindakan justifikasi yang diupayakan melalui pelontaran isu di masyarakat atau yang oleh para peneliti KontraS sebagai ‘dongeng hitam’ merupakan bukti bahwa memang Negara pasti memiliki suatu kepentingan sehingga harus melenyapkan seorang Munir.
Apabila melihat proses peradilan kasus Munir yang sebentar lagi mencapai tahun ke delapan setelah ia dibunuh, maka dapat dikatakan terdapat cukup banyak keganjilan serta ketidakadilan hukum dalam prosesnya. Berdasarkan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, korban kejahatan baik yang dilakukan oleh individu, korporasi, ataupun Negara berhak untuk mendapatkan perlakuan yang penuh dengan rasa hormat, kejelasan, dan mekanisme yang baik sesuai dengan peraturan nasional, terkait dengan kerugian yang telah mereka terima.
Dalam kasus pembunuhan Munir, korban yang paling dekat dan merasakan kehilangan tentu adalah istrinya, Suciwati. Dalam pengusutan kasus pembunuhan suaminya, ia adalah yang terdepan dalam menuntut keadilan. Akan tetapi, dapat dikatakan ia mengalami multiple victimization karena pengusutan dan kejelasan siapa pembunuh dan apa motif membunuh suaminya sampai sekarang pun tampak tidak menemukan titik yang paling terang. Ia telah menjalani puluhan sidang yang melibatkan para pelaku dan terdakwa dalam kasus suaminya, namun sampai sekarang belum dapat menemukan siapakah aktor intelektual yang merenggut nyawa suaminya ini. Meskipun Negara telah mengupayakan keadilan baginya dan bagi korban lain yang ‘tak terlihat’ dari kasus ini, tampaknya pembunuhan Munir memang akan masih menyimpan misteri dan ketidakadilan apabila Negara masih memiliki kepentingan dengan para ‘penggerak’ dari pembunuhan Munir.
Sebuah Kesimpulan
Kasus pembunuhan Munir Said Thalib yang merupakan aktivis dan pejuang hak asasi manusia, sampai sekarang memang masih meninggalkan banyak pertanyaan di benak masyarakat yang mengikuti perkembangan kasus ini. Suciwati yang merupakan istri dari Munir, sampai sekarang masih terus berjuang bersama dengan kolega-koleganya memperjuangkan keadilan dan kebenaran fakta yang masih ditutup-tutupi oleh aktor-aktor dibalik kasus pembunuhan Munir.
Dapat dikatakan bahwa kejahatan dan viktimisasi yang dilakukan oleh Negara merupakan hal-hal yang memang menyangkut isu hak asasi manusia. Seperti yang dikatakan oleh Julia dan Herman Schwedinger bahwa masyarakat harusnya mampu mendefinisikan kejahatan lebih luas dari sekedar street crime, karena kejahatan Negara yang selalu berkaitan dengan hak asasi manusia inilah yang mampu menghasilkan dampak yang sangat luas dan kerugian yang sangat masif (Green, Ward, 2000).
Pembunuhan Munir tidak akan dikenang begitu gencarnya apabila efeknya memang tidak masif. Nyatanya, kematian Munir tentu memiliki pengaruh terhadap apa yang selalu identik dengan kejahatan oleh Negara, yaitu korban yang ‘tidak terlihat’. Mulai dari para korban yang mengadu kepadanya dan memiliki kebutuhan advokasi melalui pemikiran Munir, kolega yang pemikirannya dipengaruhi pula oleh kerja Munir selama ini, pemuda-pemuda yang menjadikan Munir sebagai sosok inspirasi, hingga perkembangan penegakan hak asasi manusia di Indonesia dapat dikatakan dicederai oleh tindakan penghilangan nyawa oleh Negara ini. Meskipun sampai sekarang belum terbukti bahwa ada keterlibatan aparatur Negara pada kasus ini, dapat dikatakan sudah hampir pasti Negara memiliki andil yang sangat besar.
Diperlukan ketegasan dan keberanian untuk menjalankan pemerintahan yang jujur dan keluasan pemikiran untuk mengakomodasi kritik membangun yang disampaikan oleh pihak-pihak diluar pemerintahan oleh para pemilik otoritas pemerintahan. Apabila tidak ingin kejadian yang sangat mencederai hak asasi manusia seperti ini terulang kembali di masa dimana kebebasan yang bertanggungjawab harusnya dimiliki oleh semua individu.
Pembunuhan Munir juga dapat dijadikan introspeksi bagi para akademisi dan pengadil, bahwa berhadapan dengan Negara serta oknum yang memiliki banyak kepentingan hanya akan mengundang ketidakpercayaan dan sinisme publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Bagi para aktivis hak asasi manusia, sudah tentu tidak bias melupakan begitu saja kasus ini, harus tetap dituntaskan dan mencegah agar kejadian mengerikan seperti ini tidak lagi terjadi di Indonesia.

Tidak ada komentar: